Indonesia Harus Bersiap Songsong AFTA

0
141

Seminar AFTA 2015  Foto: IwanBATAM – Pengamat ekonomi yang juga mantan menteri BUMN Tanri Abeng hadir sebagai pembicara dalam seminar Batam menyongsong Asean Free Trade Area (AFTA) 2015, Sabtu (22/3) di Hotel Novotel. Tahun 2015 mendatang, komunitas Asean akan menghadapi era perdagangan bebas.

Tanri menilai Indonesia belum siap menghadapi era perdagangan bebas. Alasannya karena Indonesia belum terbiasa membangun proses perencanaan yang matang. “Kita tidak siap. Para pejabat kita juga dengan terang-terangan mengatakan kita tidak siap. AFTA sudah 10 tahun dibicarakan, tapi kita tidak mempersiapkan diri,” katanya.

Ia mengatakan hingga kini Indonesia belum bergerak, sementara negara Asean lain sudah bersiap. Warga Thailand dan Filipina kini sudah mulai belajar Bahasa Indonesia. Tujuannya apalagi kalau bukan mereka mempersiapkan diri untuk bisa bekerja di Indonesia. Karena AFTA ini bukan hanya bebas dalam hal perdagangan, tapi juga kesempatan kerja.

Dan Indonesia menjadi target utama negara-negara Asean. Karena pasar dan potensi yang paling besar ada di Indonesia. Jika melihat perspektif Asean dari konteks populasi dan income secara nasional dan per kapita, kepemilikan sumber daya alam, semuanya ada di Indonesia. “Inti dari Asean economic community ini semua bebas, 10 negara jadi satu. Jangan lupa, saat Asean economic community, selalu ada persaingan. Perlu kepintaran untuk menentukan kepada siapa kita bersaing dan dengan siapa kita bekerjasama. Bagaimana kalau kita tidak punya keahlian,” ujarnya.

Keahlian ini penting dari perspektif tenaga kerja, karena nanti akan dibuat standarisasi dan formalisasi dari kompetensi profesi. Jadi sertifikasinya berlaku di seluruh wilayah Asean. Oleh karena itu perlu sekali untuk mengembangkan institusi yang bisa membangun kompetensi profesional tersebut.

Tanri Abeng menambahkan akan terjadi perubahan yang luar biasa setelah AFTA ini berjalan. Jika kita tidak berubah, kita tak akan mampu memanfaatkan peluang-peluang yang ada di depan mata. Ia mengatakan ada tiga aspek yang menjadi daya tarik negara di era perdagangan bebas ini. Pertama efektifitas pemerintahan. Kedua kualitas regulasi, dan ketiga aturan hukum. “Indonesia ini kalau ujian nggak lulus, nilainya 5. Singapura hampir 100, karena dikelola seperti perusahaan. Dan ini survei internasional,” paparnya.

Institusi, kata Tanri Abeng, hanya akan bisa dibenahi kalau memiliki pemimpin yang jago alias hebat. Kalau sudah bagus, institusi inilah yang akan menghasilkan pemimpin baru. Pemimpin hasilkan pemimpin.

Seperti di Singapura yang dijalankan seperti sebuah perusahaan, keberlanjutan kepemimpinannya sudah jelas karena telah disiapkan dengan baik. Sementara di Indonesia, reformasi birokrasi gagal total. Karena paradigma belum berubah. Mindset birokrasinya belum berubah. “Kalau mau berubah harus lakukan transformasi, reformasi. Dengan pertama-tama kita lakukan restrukturisasi,” kata pemilik Tanri Abeng University ini.

Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja RI, Abdul Wahab mengatakan pada dasarnya kualitas sumber daya manusia merupakan kunci utama untuk hadapi AFTA. “Apapun namanya, kualitas SDM itu intinya. Harus berkeahlian. Maka perlu pengembangan SDM,” kata Abdul Wahab.

Sejak otonomi berlaku, lembaga-lembaga pelatihan seperti terlupakan. Selain itu Balai Latihan Kerja juga menjadi hal penting, namun tak berjalan optimal. Abdul Wahab mengatakan BLK yang ada di Tanjungpinang sudah dibangun dengan standar Eropa. Tapi begitu otonomi, pengelolaannya pun “bubar”.

“Harus ada pengembangan sistem SDM yang sistematis, jadi semacam buku suci bagi pemerintah daerah,” katanya.

Direktur Politeknik Negeri Batam, Priyo Eko Sanyoto membenarkan pentingnya pendidikan bagi SDM. Namun saat ini diakuinya sulit untuk mencari dosen berkualitas yang mau mengajar di Batam.

Ia mengatakan Poltek Batam setiap tiga tahun melakukan survei terhadap kebutuhan industri. Ada elektronika, informatika, mesin, dan tadinya mau siapkan perkapalan dan geonautika kelautan.

Tapi yang jadi masalah, mahasiswa di Batam umumnya hanya mau belajar informatika. Pendaftarnya bahkan sudah over supply. Sedangkan elektronika dapat 90 mahasiswa saja sulit padahal kebutuhannya banyak. Karena itu perlu bantuan pemerintah, mungkin dalam bentuk subsidi supaya calon mahasiswa tertarik ke jurusan lain.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here