Wacana tersebut segera direalisaskan mulai tahun 2009 ini. Tahap awal sedikitnya tersedia dana Rp 1,3 Miliar guna melengkapi peralatan lab yang dinilai kurang. Kedepan lab yang ditaksir butuh dana Rp 5 miliar lebih itu diharapkan terealisasi tahun 2010, sehingga SDM yang ada bisa bekerja mandiri dan profesional sesuai kepentingan daerah dan banyak orang. Penganggaran yang kurang, akan diupayakan oleh masing-masing institusi melalui sumber anggaran lembaganya masing-masing.
Lab lingkungan tersebut di cadang satu area dengan Kawasan Pengolahan Limbah Industri (KPLI) Kabil di Nongsa-Batam. Kawasan tersebut merupakan milik Otorita Batam, dan dalam kerjasama tersebut, semua asset KPLI dipakai sebagai modal awal untuk mendirikan lab tersebut.
” Ini bukti konkrit dari bentuk sinergitas yang akan dilakukan menyambut kemajuan Batam dan Kepri di era SEZ ” sebut Dendi N Purnomo, Kepala Bappedal Kota Batam.
Batam sebagai kota industri sebenarnya telah memiliki lab lingkungan. Misalnya milik PT Sucofindo dan PT Ecogreen. Tapi karena keterbatasan peralatan, sampai sekarang masih ada industri yang mengirimkan limbah buangan pabrik ke Pulau Jawa, misalnya ke PPLI Bogor. Penyebabnya, tidak semua limbah yang dihasilkan bisa diolah di Batam, misalnya untuk kategori limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3).
Kendati demikian, Halima setuju mengasistensi Batam bila benar-benar serius merealisasikan rencana tersebut. Bahkan ia siap menerima SDM magang untuk mengisi lab lingkungan di Batam.
” Kami siap bantu. Bentuknya bisa kerjasama. Nanti kita susun draft MOU nya,” kata Halimah, saat menerima kunjungan Bapedal dan OB di Bekasi, beberapa waktu lalu.
Dimata Halimah, Batam mutlak memiliki laboratorium lingkungan, khususnya lab limbah industri B3. Data di Pusarpedal, sampai saat ini mereka telah melakukan pembinaan terhadap 59 laboratorium lingkungan dari 32 provinsi di seluruh Indonesia, termasuk lab lingkungan di Padang dan Pakanbaru. Dari data itu sekitar 40 laboratorium sudah terakreditasi. ”Laboratorium itu merupakan ujung tombak dalam pegelolaan limbah,” katanya.
Terpisah, kepala Bapedal Kota Batam Dendi N Purnomo mengatakan, bentuk kerjasama antara Pusarpedal segera dikaji. Jika memungkinkan, tidak tertutup peluang untuk melakukan MoU Empat institusi. ”Kita berharap kerjasama itu nantinya bersifat technical assistance, karena Pusarpedal ini sudah menjadi rujukan laboratorium lingkungan di Indonesia,” kata Dendi.
Dendi menambahkan, untuk tahap awal, labor lingkungan yang akan di bangun di Batam tahun pertama difokuskan untuk menampung limbah cair dulu. Selanjutnya menyusul bentuk labor lainnya, sesuai kondisi dan tuntutan wilayah. Data Dendi, dari 300 perusahaan di Batam, volume limbah industri B3 yang dihasilkan sekitar 67 ribu ton per tahun. Dari jumlah itu baru 50 persennya saja yang terolah di daerah.
Pada saat berada di Pusarpedal, tim Pemko Batam diberi kesempatan untuk melihat dari dekat ruang laboratorium lingkungan Pusarpedal, yang terdiri dari laboratorium air dan limbah cair, biologi, udara dan emisi, ruang pengukur kebisingan dan getaran dan laboratorium kalibrasi.
Menariknya, sebagain besar dari staf laboratorium ini terdiri dari tenaga perempuan. Alasannya cukup simple, perempuan dianggap lebih sabar dalam melakukan pengamatan dan penelitian. “Disini juga menerima siswa magang dari luar daerah,” sebut Halimah.
Selain ke Pusarpedal KNLH, rombongan dari Batam juga berkunjung ke tempat pengolahan limbah air atau water treatment plant (WTP) milik PT Jababeka Infrastruktur di kawasan Jababeka Industrial Park I , Bekasi. Jababeka I memiliki kapasitas pengolahan limbah cair sebanyak 18 ribu meter kubik per hari. Pihak pengelola menggandeng masyarakat setempat untuk menjadi pos pengaduan dan pemantau pencemaran lingkungan oleh industri, khususnya pencemaran terhadap air bersih.
PT Jababeka memiliki tujuh area waste water treatmen plant (WWTP). Saat ini, kapasitas limbah tertampung baru sekitar 18 ribu meter kubik perhari, karena baru tiga WWTP yang dioperasikan. Sebagian limbah yang di olah dimanfaatkan untuk sumber air bersih.
“Peluang Batam mengembangkan pusat pengelolaan limbah yang sama, jauh lebih besar karena ada di lokasi industri yang ratusan jumlahnya,” sebut pihak Indocement.
Dengan kemajuan tekhnologi, tidak semua limbah yang diolah PT Indocement dibuang. Sebagian diantaranya digunakan PT Indocement untuk menjadi bahan pencampur semen. Namun, demi menjaga kualitas produknya, PT Indocement tidak sembarangan dalam menerima jenis limbah.
Komitmen PT Indocement ternyata juga getol dalam memerangi kebiasaan merokok dari karyawannya. Data yang diperoleh , dari sekitar 5.000 karyawan PT Indocement, seribu di antaranya merupakan perokok. Sebagai bentuk komitmennya, pihak perusahaan mengalokasikan dana sebesar Rp2.5 juta per orang untuk biaya terapi.
Sepulang dari PT Indocement, rombongan tidak langsung pulang ke Jakarta. Memanfaatkan sisa waktu yang ada, tim berkunjung ke lokasi tempat pengelolaan limbah B3 milik Kementerian Lingkungan Hidup, yaitu area Waste Management Indonesia (WMI) di PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) di Cileungsi, Bogor.
Ketika berada di PPLI Bogor, tim mendapat banyak masukan atas rencana Batam mengembangkan lab lingkungan di daerah. Menurut mereka, lab yang mereka miliki merupaka pusat pengolahan limbah B3, yang terakreditasi dan memiliki sertifikat ISO dari lembaga sertifikasi kelas dunia.
Sama halnya dengan pusat pengelolaan limbah di PT Jababeka Bekasi, dan PT Indocement, Bogor, PPLI juga sering mendapat kiriman limbah B3 asal Batam.
Kunjungan tim dari Batam ini diantaranya beranggotakan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kepri,Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam, Badan Otorita Batam, dan Asosiasi Pengumpul, Pengangkut dan Pengelola Limbah (Aspel) Batam.
Bagi pemain dan transpoter limbah anggota Aspel Batam, rencana pemko, pemprov dan OB ini layak didukung. Menurut mereka, Batam sudah sepantasnya memiliki lab lingkungan sendiri, mengingat banyaknya aktifitas perusahaan penghasil limbah di Batam, Bintan dan Karimun. Mereka berharap, lab lingkungan di Batam kualitasnya jauh lebih baik, sehingga dapat menjadi labor lingkungan rujukan.
“Dibisnis ini, untuk mencari limbah tidaklah sulit. Yang merepotkan kami hanya soal perizinan dan alat angkut untuk membawa barang olahan ke luar Batam. Kalau kita sudah memiliki lab lingkungan sendiri, kami yakin seyakinnya, transporter tidak akan mengeluarkan biaya yang terlalu banyak untuk mengirim limbah industri ke PPLI, Indocement atau ke Jababeka. Mudah-mudahan rencana tersebut cepat terealisasi,” sebut H Amirudin, anggota Aspel Batam.
foto lain