Walikota Perjuangkan Rumah di Batam Berstatus Hak Milik

By Kartika Pada : 07 Des 2016, 20:00:34 WIB, - Kategori : Kabar BatamWalikota Perjuangkan Rumah di Batam Berstatus Hak Milik

Media Center Batam - Walikota Batam, Muhammad Rudi menekankan bahwa Pemerintah Kota Batam tetap pada permintaan sebelumnya yakni uang wajib tahunan otorita (UWTO) untuk pemukiman Rp 0.

"Dalam rapat UWTO, yang kita perjuangkan betul itu tentang perumahan. Dan sampai sekarang kita tetap memperjuangkan agar UWTO pemukiman nol rupiah," kata Walikota di ruang kerjanya, Rabu (7/12).

Ia berharap UWTO untuk rumah susun sederhana, dan perumahan kavling siap bangun (KSB) nilai UWTO-nya Rp 0. Baik untuk baru maupun perpanjangan. Sedangkan rumah tapak, tarif Rp 0 hanya untuk perpanjangan.

"Kalau perpanjangannya sudah nol, maka yang mau diselesaikan selanjutnya adalah yang tadinya Hak Guna Bangunan, nantinya bisa menjadi hak milik," kata dia.

Selain memperjuangkan pemukiman warga, Pemko Batam juga mengusulkan agar tanah yang ada bangunan dan kantor milik pemerintahnya dibebaskan juga dari UWTO. Baik untuk izin baru maupun perpanjangan.

Sebagai informasi, UWTO merupakan uang sewa lahan yang diterapkan di Kota Batam oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam, sebelumnya bernama Otorita Batam. Sewa tanah ini dibayarkan di awal saat mendapat alokasi lahan dari BP Batam. Tahap awal UWTO berlaku 30 tahun, kemudian diperpanjang dengan masa sewa 20 tahun.

Beberapa waktu lalu Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan tentang tarif badan layanan umum BP Batam. Kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Kepala BP Batam tentang tarif UWTO. Akibat adanya penolakan dari berbagai pihak akhirnya kedua aturan tersebut direvisi oleh Dewan Kawasan Perdagangan Bebas Pelabuhan Bebas Batam. Dewan Kawasan ini diketuai Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, dengan anggota sebelas orang termasuk di dalamnya Walikota Batam, Muhammad Rudi.

Menurut Rudi, rapat Dewan Kawasan juga membahas tentang tarif revisi untuk kategori selain pemukiman. Perubahan tarif bervariasi dengan nilai kenaikan paling tinggi 150 persen.

"Kita juga mengusulkan agar nilai di revisinya nanti satu angka saja, tidak dibuat range. Misal dari Rp 100 ribu sampai Rp 6 juta. Tidak bisa seperti itu, satu angka saja," ujarnya.