Media Center Batam - Komisi VI DPR RI melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Kepulauan Riau. Pertemuan berlangsung di aula Lantai V Graha Kepri di Batam Centre, Senin (9/5). Pada kesempatan tersebut Komisi VI mendengarkan berbagai permasalahan yang dihadapi di Batam, khususnya terkait dualisme kewenangan Pemerintah Kota dan Badan Pengusahaan Batam.
Ketua Komisi VI, Achmad Hafisz Tohir mengatakan sebenarnya sistem yang sama juga diterapkan di Kota Shenzhen, Tiongkok. Namun tidak ada permasalahan seperti di Batam saat ini.
"Shenzhen tidak ada masalah antara otonomi derah dengan FTZ-nya. Kami tidak tahu bagaimana sistemnya. Tapi kami harap hal ini juga bisa dilakukan di Batam," kata Achmad.
Walikota Batam, Muhammad Rudi menyampaikan bahwa menurutnya tidaklah sulit membangun Batam. Hal utama yaitu dengan meningkatkan kepercayaan investor. Namun di lain sisi, pemerintah daerah sering kebingungan dengan regulasi yang tumpang tindih.
"Regulasi yang membuat kami di bawah ini bingung. Satu sisi Pemko punya aturan, satu sisi juga BP punya aturan," sebut Rudi.
Ia mencontohkan selama ini Pemko Batam melakukan pembangunan di atas lahan bukan milik pemerintah, namun BP Batam. Dan ia mengaku sudah melaporkan hal tersebut ke pemerintah pusat. Kementerian terkait, menurut Rudi, sudah memerintahkan agar BP segera menyerahkan lahan tersebut ke Pemko Batam supaya tidak menjadi masalah kelak dalam pembangunan Batam.
"Kami sekarang membangun bukan di lahan kami sendiri, masih milik BP Batam. Hal ini sudah kami laporkan ke Menko. Sudah diperintahkan ke BP supaya bisa segera diserahkan," ujarnya.
Sebagai anggota Dewan Kawasan Pelabuhan Bebas Perdagangan Bebas Batam, Rudi berharap BP Batam bisa fokus mengurus masalah investasi.
"BP harus fokus. BP orang yang ahli mengurus investasi. Pemko yang ahli mengurus masyarakat. Kalau ini sudah dipisah saya yakin tidak ada masalah," kata dia.
Sementara itu, Kepala BP Batam, Hatanto Reksodipoetro menjelaskan terkait masalah pengembangan aset yang dikelola BP Batam. Terutama aset-aset yang berkaitan dengan pintu masuk ke Batam yakni pelabuhan dan bandara.
"Ke depan tidak ada jalan lain harus dilakukan pembalikan, turning around. Dua aset ini berhadapan langsung dengan aset Singapura. Manajemen dua aset ini harus dilakukan secara intensif, dan nantinya membutuhkan banyak biaya. Masalahnya aset ini belum dijalankan dengan visi bisnis," kata Hatanto.
Dan masalah kedua yang disampaikan yaitu terkait lahan dan perizinan. Menurutnya yang diinginkan investor adalah kepastian. Sedangkan di Batam, ia melihat bahwa selama ini kepastian tersebut belum diberikan kepada investor.
"Ke depan kami lebih mengarah pada satu model yang meminimalkan pertemuan manusia dalam masalah perizinan ini," ujarnya.
Anggota Komisi VI, Irmadi Lubis menilai masalah yang terjadi di Batam disebabkan pemerintah lalai melaksanakan amanat Undang-undang nomor 53 tahun 1999. Undang-undang tentang pembentukan kabupaten-kabupaten dan Kota Batam ini mengamanatkan agar segera dibentuk Peraturan Pemerintah terkait hubungan kerja Pemko-BP.
"Pasal 21 menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan pembangunan Pemko harus mengikutsertakan BP Batam. Status BP perlu disempurnakan. Hubungan kerja perlu diatur lebih lanjut dengan PP, dan harus dikeluarkan paling lama 12 bulan," sebut Irmadi.
"Ini DPR-nya salah, pemerintahnya lalai. Waktu itu pernah tanya Pak Ismeth, Nyat Kadir, Asman Abnur, sudah sejauh mana, jawabnya kami baik-baik saja kok. Jadi ini pemerintah lalai kalau tidak bisa dikatakan melanggar Undang-undang. Pemerintah daerah juga lalai mendorong pusat," sambungnya.
Di akhir pemaparannya, Irmadi mengatakan dari pertemuan ini salah satu hal yang akan menjadi rekomendasi Komisi VI ke pemerintah pusat yaitu segera menerbitkan PP tentang hubungan kerja Pemko-BP Batam tersebut.